Ayo Lengkapi Imunisasi

Rendahnya cakupan imunisasi lengkap di Indonesia, 46,2 persen, menunjukkan upaya pencegahan penyakit belum mendapat perhatian serius. Karena itu, perlu komitmen bersama untuk menggalakkan kembali kampanye imunisasi bagi bayi dan balita. “Komitmen bersama dalam menggalakkan kembali kampanye mengenai pentingnya imunisasi bagi bayi dan anak balita masih kurang,” kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Syahrul Aminullah, Senin (7/9) di Jakarta.

Dari hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap anak usia 12-23 bulan sebesar 46,2 persen. Mereka mendapat vaksinasi BCG, polio 3 kali, DPT 3 kali, hepatitis B 3 kali, dan campak.

Provinsi dengan cakupan imunisasi lengkap paling buruk adalah Sulawesi Barat (17,3 persen). Kabupaten/kota dengan cakupan imunisasi lengkap nol persen adalah Waropen, Tolikara, Paniai, Puncak Jaya, dan Yahukimo. Bila seorang anak tak mendapat vaksinasi lengkap, kemungkinan terhindar dari penyakit kurang dari 80 persen.

Tahun 1990 Indonesia sudah mencapai universal child immunization (UCI) nasional. UCI adalah tercapainya cakupan minimal 80 persen imunisasi lengkap bayi sebelum usia 1 tahun untuk antigen BCG 1 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali, polio 3 kali, lalu tahun 1997 masuk hepatitis B 3 kali.

Laporan Depkes menunjukkan, pencapaian UCI desa di Indonesia tahun 2007 dengan indikator cakupan imunisasi campak 76,1 persen, tahun 2008 sebesar 68,3 persen. Provinsi dengan cakupan UCI rendah antara lain Lampung, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Maluku.


Partisipasi

Rendahnya cakupan imunisasi lengkap di sejumlah provinsi mencerminkan lemahnya upaya penanggulangan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. “Promosi kesehatan, khususnya mengenai pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak, sangat lemah,” ujar Syahrul.

Studi di sejumlah provinsi menunjukkan, sebagian besar ibu bayi dan anak balita tidak mendapat informasi memadai mengenai imunisasi. “Dengan desentralisasi daerah, keberhasilan imunisasi sangat dipengaruhi sejauh mana komitmen pemerintah daerah dalam mendukung program ini,” katanya.

Perubahan perilaku masyarakat ikut menghambat pelaksanaan imunisasi. Dulu kader posyandu secara sukarela menyosialisasikan imunisasi. Kini banyak posyandu tidak berfungsi karena tidak ada insentif. “Sekarang warga baru bergerak bila ada insentif,” ujarnya.

Ketua Pusat Riset Epidemiologi dan Surveilans Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Nasrin Kodim menilai, kendala lain imunisasi adalah lemahnya kepemimpinan sektor kesehatan. Sejauh ini perbaikan kesehatan masyarakat lebih banyak dipengaruhi faktor perbaikan taraf sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat. “Belum ada strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif dalam meningkatkan partisipasi rakyat untuk menggalakkan program imunisasi,” lanjutnya.

Hal ini diperparah perilaku oknum petugas kesehatan di daerah yang menggelembungkan data cakupan imunisasi. “Bila ada bayi tidak dibawa ibunya ke posyandu atau puskesmas terdekat, seharusnya petugas kesehatan dan kader mendatangi rumah orang tuanya agar tidak ada bayi lolos atau tidak mendapat vaksinasi,” ujarnya.


Evaluasi

Nasrin menilai, perlu ada evaluasi program imunisasi menyeluruh oleh lembaga independen. Hal ini bertujuan meningkatkan cakupan 5 jenis imunisasi wajib sesuai program pemerintah.

“Imunisasi adalah tugas kita semua. Jadi, sosialisasi kepada masyarakat sangat penting,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Badriul Hegar. Peran posyandu perlu ditingkatkan mengingat posyandu didirikan untuk memperluas jangkauan beberapa pelayanan kesehatan, termasuk imunisasi.

Syahrul menambahkan, komitmen bersama harus ditingkatkan. Dengan rentang kendali luas, wali kota dan bupati harus berkomitmen menyehatkan warganya lewat pendanaan dan dukungan operasional. “Upaya preventif dengan imunisasi jauh lebih murah daripada jika terjangkit penyakit,” katanya.

Diakui bahwa selama ini isu-isu kesehatan kalah dari isu ekonomi dan politik, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum.


Sumber: Kompas 8 September 2009